Ketika Iblis Iringi Perjalanan Amir ke Masjid - RadarIslam.com

Ketika Iblis Iringi Perjalanan Amir ke Masjid

Radarislam.com ~ Ada seorang Hamba Allah bernama Amir adalah sosok orang buta yang sering shalat di masjid. Saat itu, ustaz sedang menyampaikan kewajiban shalat yang harus ditunaikan oleh umat muslim. Khususnya akhwat untuk shalat berjamaah.

“Siapapun harus menjalankan salat jika mendengar suara azan,” ujar penceramah kepada jamaahnya.

Dengan takut-takut Amir mengacungkan tangan, hendak bertanya.

“Ada apa?” tanya si pemuka agama kepada Amir.

“Bagaimana dengan saya?” tanya Amir.

“Bagaimana apanya?” tanya sang penceramah.

“Bagaimana dengan keadaan saya ini? Apakah saya juga kena kewajiban meski saya begini?” tanya Amir lagi sambil menunjuk kedua matanya.

Sejak lahir Amir terlahir buta. Kedua matanya ditakdirkan tidak bisa membedakan warna, memfilter cahaya, atau mendeteksi halangan di hadapannya.

Dengan tersenyum si pemuka agama ini menyeru, “Apakah kamu masih bisa mendengar seruan azan?” tanyanya.

“Ya, saya mendengarnya,” jawab Amir.

“Kalau begitu kewajiban ini pun juga membebani dirimu," tukas sang penceramah.

Amir pun mengangguk. Ia harus melakukan kewajiban yang menyamakannya dengan manusia normal yakni wajib menunaikan ibadah layaknya muslim yang lain.

Pada akhirnya, setiap hari Amir selalu menunaikan shalat berjamaah dengan beberapa tetangganya. Amir melakukannya di masjid. Ia berjalan sendirian tanpa seseorang yang membantunya. Padahal rumah Amir cukup jauh dari masjid.

Amir tidak dapat menghafal rute menuju masjid dari rumahnya. Walau perjalanannya begitu sulit baginya, Amir tidak pernah menyerah melakukan kewajiban shalat berjamaah lima kali dalam sehari. Otomatis ia melakukan perjalanan 10 kali untuk pulang-pergi dari rumahnya ke masjid.

Sampai suatu ketika, Amir terjatuh ketika akan menunaikan ibadah shalat subuh di masjid. Kepalanya sampai terbentur batu sehingga darah mengucur deras. Dalam keadaan seperti itu, bukannya kembali pulang atau pergi ke dokter. Amir malah tetap melanjutkan perjalanan panjangnya menuju masjid.

Begitu sampai dan menyelesaikan shalat subuh, para jamaah pun terkejut mendapati keadaan Amir dalam kondisi berdarah-darah. Mereka pun segera mengobati Amir. Menanyakan kenapa tidak pulang saja dulu jika keadaan sudah separah itu.

 “Kewajiban ini sudah dibebankan kepadaku,” katanya dengan nada santai

Setelah diobati, Amir pun kembali pulang. Pada waktu shalat berikutnya, Amir jadi semakin berhati-hati menuju masjid, ia tahu bahwa jalanan terkadang membahayakan. Ia tak ingin terjatuh untuk yang kedua kalinya.

Tiba-tiba Amir merasakan ada genggam tangan lembut seorang anak kecil di pergelangan tangannya. Genggaman tetsebut begitu erat dan menariknya begitu cepat. Amir tidak tahu siapa anak kecil itu. Belum sempat bertanya, Amir tahu-tahu sudah sampai di masjid. Bersama anak kecil ini ia berjalan begitu cepatnya karena tak perlu lagi meraba-raba jalanan dengan tongkat.

Begitu sampai masjid, anak kecil ini hanya tertawa kecil dan mempersilakan Amir menuju masjid.

“Siapa engkau, Nak?” tanya Amir.
“Lain kali hati-hati ya, Kek?” kata anak kecil ini langsung pergi.

“Oh, iya, Nak, terima kasih, ya,” jawab Amir.

Baru hendak bertanya lagi siapa dia, si anak sudah pergi. Amir pun ingin membalas kebaikan tersebut, namun apa daya, dirinya buta, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengenali genggaman kecil dan suara si anak kecil tadi. Amir pun masuk ke masjid dan menjalankan salat berjamaah.
Keesokan harinya, ketika Amir keluar rumah menuju masjid. Tiba-tiba tangannya kembali digenggam oleh sosok yang sama. Amir dituntun menuju masjid dalam kecepatan yang luar biasa.

Bagi orang buta seperti Amir, berjalan cepat saja sudah mengerikan, apalagi berlari di dalam kota yang begitu padat.

“Siapa sebenarnya dirimu, Nak? Kenapa engkau begitu baik kepadaku?” tanya si Amir lagi sesampainya di masjid.
“Kakek tidak perlu tahu siapa aku. Yang penting Kakek sampai masjid dengan selamat. Itu sudah membuatku senang,” kata suara yang begitu lembut dari si anak ini sambil berlalu pergi.

Dalam pikiran Amir, kebaikan anak ini harus dibalas. Tapi bagaimana caranya, Amir menyadaru ia bukan orang kaya, tapi paling tidak ia bisa memberikan sesuatu. Sepotong roti, misalnya.

Benar saja, di waktu shalat berikutnya si Amir kembali sudah menanti di depan rumah. Memasrahkan tangannya. Tak berselang lama suara azan berkumandang, lagi-lagi tangannya digenggam oleh si anak kecil yang sudah dikenali.

Sesampainya di masjid, Amir langsung merogoh sakunya. Mencoba memberikan anak ini sepotong roti.
“Ini apa, Kek?” tanya si anak kecil.

“Itu buat kamu. Tanda terima kasihku untukmu, Nak,” kata Amir.

“Aku tidak butuh,” kata si anak kecil ini kembali pergi.

Mendengarnya tentu saja Amir bingung. Mengapa anak ini terus membantunya menuju masjid?

“Lalu apa yang kamu butuhkan, Nak?” tanya Amir lagi

Si anak ini awalnya bergeming lalu hendak pergi.

“Yang aku butuhkan? Kakek tidak lagi terjatuh ketika menuju masjid," jawabnya polos.

Tentu saja Amir semakin heran dengan jawaban anak kecil ini.

“Kalau kamu sebaik itu, kenapa setiap kali mengantarku ke masjid, kamu tidak pernah ikut ke dalam, Nak? Ikut salat bersamaku,” tanya Amir.

Si anak terdiam.

“Apakah kamu seorang Yahudi?," tanya Amir.
Anak ini masih terdiam.

“Kristen?," tanya Amir lagi

Tak ada suara.

“Majusi?," tanya Amir.

Si anak masih bergeming.

“Apakah kamu Islam?” pertanyaan ini pun tidak di jawab oleh si anak.

“Baiklah kalau begitu, tapi izinkan aku tahu siapa namamu. Paling tidak agar aku bisa mendoakan dirimu kepada Tuhanku,” kata Amir.

“Aku tidak butuh doamu, Wahai Amir! Jangan pernah sekalipun kau mendoakanku,” mendadak suara anak ini menjadi begitu besar dan terdengar mengerikan sehingga membuat Amir takut.

“Siapa kamu?” tanya Amir dengan nada bergetar.

Suara itu kembali menghilang.

“Kalau kamu tidak menyebutkan dirimu siapa? Aku akan mendoakan dirimu kepada Tuhanku,” ancam Amir.

“Ketahuilah putra dari Ummi Maktum, aku adalah iblis yang sedang menyesatkanmu,” kata suara tersebut.

Amir terkejut setengah mati. Tapi Amir tahu, ini bisa jadi benar-benar iblis, atau sesuatu yang mengaku iblis. Lagipula jika memang sumber suara itu adalah iblis, lalu kenapa ia selalu ditolong saat menuju masjid? Bukankah seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya?

“Mengapa kamu menolongku?,” tanya Amir.

“Masih ingat Amir? Beberapa hari lalu dirimu terjatuh hingga kepalamu berdarah-darah?” kata suara tersebut.

"Lalu bukannya kembali ke rumah, tapi kamu malah melanjutkan perjalanan ke masjid," lanjutnya.

Amir hanya terdiam kebingungan disertai perasaan takut.

“Karena itulah dosamu sepanjang hidup sudah dihapus oleh Tuhan separuhnya. Aku khawatir, jika kamu terjatuh lagi yang kedua kali, dosamu yang setengahnya lagi akan ikut terhapus,” kata suara tersebut.
Amir kemudian mengerti sekarang

“Jadi dengan begitu kamu terus menolongku menuju masjid selama ini?” tanya Amir.

“Benar, menolongmu agar dosa-dosamu itu masih ada dalam dirimu,” kata sumber suara itu.

Hal yang kemudian diceritakan oleh Amir kepada tokoh agama di kota tersebut dan dibenarkan bahwa sosok yang selama ini mengantar Amir ke masjid memang benar-benar iblis. [Radarislam/ Tr]

Share This !

Related Posts :