Anaknya Selalu Ranking 23, tapi hal tak diduga Terungkap ketika Rapor dibuka - RadarIslam.com

Anaknya Selalu Ranking 23, tapi hal tak diduga Terungkap ketika Rapor dibuka

Anaknya Selalu Ranking 23, tapi hal tak diduga Terungkap ketika Rapor dibuka
Anak selalu ranking 23, Radarislam.com - Jagat maya kini dihiasi oleh beragam kisah inspiratif. Salah satunya kisah yang belum lama ini jadi viral di media sosial Facebook.

Kisah ini diunggah oleh Akun Facebook Winardi Abu Faqih.

Postingnya itu diunggah pada Senin (3/7/) pukul 08.25 WIB di Kota Bekasi, Jawa Barat.

Hingga kabar ini dikutip Radarislam.com dari laman Pos Belitung, Selasa (4/7), postingan tersebut sudah dibagikan sebanyak lebih dari 38 ribu kali.


Sedangkan yang komentar sudah ada 10.500 lebih dan 59 ribu lebih like.

Postingan Winardi Abu Faqih itu berjudul 'Anakku ranking ke-23'. Postingan itu menceritakan seorang anak sedang membantu orangtuanya di dapur.

Ia adalah anak yang selalu dapat ranking ke-23 di kelasnya.


Orang tuanya sempat bingung dan heran karena tingkah anaknya dianggap tidak seperti lainnya.

Saat ditanya tentang cita-cita, si anak malah menjawab tegas ingin menjadi guru TK atau Ibu Rumah Tangga.


Tapi kemudian orangtuanya sadar ketika mendapati kenyataan pada akhir ujian semester. Anaknya memang kembali dapat ranking 23, tapi si orang tua mendapat keterangan yang mengejutkan dari wali kelas anaknya.

Dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan dengan pertanyaan:

Siapa teman sekelas paling kamu kagumi dan apa alasannya:

Dan jawaban dari semua teman sekelasnya sama, tak ada satu pun yang berbeda.

Mereka serentak menuliskan nama anak ini. Mereka mengatakan karena sang anak sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.


Postingan ini membuat banyak netizen terenyuh dan memuji sang anak dan orang tuanya.

"Terinspirasi bgt...!!! I do like it.....," kata akun Saifullah.

"Ngerasa brada dlm cerita tu," ujar akun Siti Nurhandayani.

"Benar2 cerita yg sngt menginspirasi qta sbg orang tau.. Bner2 salut," komentar akun Anastasya Kusuma Wardhani.

"Kereeennn banget...merinding bacanya..kok jadi melow..karena saya adalah ayah yang gagal..," imbuh akun Ade Andri.

Berikut postingan selengkapnya:
Postingan anakku selalu ranking 23 winardi abdul faqih


Anakku ranking ke-23 ...


Di kelasnya ada 25 orang murid,setiap kenaikan kelas,anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. 

Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini.

Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.


Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing.

Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. 

Semua orang pun bertepuk tangan.

Tapi anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. 

Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya.

Didesak orang banyak,akhirnya dia menjawab ,,,

"Saat aku dewasa,cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi,menari lalu bermain-main".


Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua.

Dia pun menjawab ,,,


"Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang."


Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. 

Nampak raut muka isteriku pun terlihat canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, isteriku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya 
menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain.

Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti.

Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. 

Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23.

Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai di
sekolahnya.

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. 

Semua orang membawa serta keluarga mereka.

Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya.

Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira. 
Dia seringkali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan, merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar.

Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.


Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue.

Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. 

Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. 

Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. 

Anak-anak mulai terlihat gelisah. 

Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti.

Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan.

Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang 
mendapatkan guntingan kertas berbentuk hewan masing-masing, dan mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.

Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. 

Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi.

Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. 

Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan.

Dalam soal itu tertera: SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI DAN APA ALASANNYA?

Dan jawaban dari semua teman sekelasnya sama, tak ada satu pun yang beda. 

Mereka serentak menuliskan nama anakku.

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang,selalu memberi semangat,selalu
menghibur,selalu enak diajak berteman,dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian ,,,

"Anak bapak ini kalau bertingkah laku terhadap orang,benar-benar nomor satu".

Tak berselang lama aku mencandai anakku dan berkata padanya ,,,

"Suatu saat kamu akan jadi pahlawan".

Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba-tiba menjawab ,,,

"Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah,ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan."

Dia lalu melanjutkan ,,,

"Ayah... Aku tidak mau jadi pahlawan. Aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan saja."

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. 

Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku.

Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, jadi orang-orang hebat,atau orang terkenal.

Namun anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak 'terlihat'. 

Seperti akar sebuah tanaman,tidak terlihat, tapi dialah yang mengokohkan, dialah yang memberi makan dan dialah yang memelihara kehidupan yang lain.

~ ~ ~

Sahabatku,,,

Hidup itu bukan semata-mata untuk menunjukan siapa yang paling penting, siapa yang paling berperan,atau siapa yang paling hebat, 
tapi sederhana saja, siapa yang paling bermanfaat bagi yang lain ...

Menggantungkan cita-cita setinggi langit juga penting, agar anak punya semangat dengan arah dan tujuan hidup yang jelas

Tapi yang lebih penting lagi adalah kemanfaatan kita terhadap orang lain seperti yang ditunjukkan oleh anak ini.

Pemerhati pendidikan anak Seto Mulyadi mengatakan, seringkali orangtua bahkan pendidik, mengukur kecerdasan anak hanya melalui mata pelajaran tertentu.

Misalnya anak yang kuat di mata pelajaran matematika dianggap cerdas, dan sebaliknya, stigma kurang cerdas kerap disematkan pada anak-anak yang rendah nilai matematikanya.

"Seolah-olah cerdas matematika di atas segalanya, padahal anak-anak memiliki kecerdasan di sisi lain. Sebagai musisi, pelukis, orator, atau apapun yang menjadi minat dan bakatnya," kata Kak Seto dalam sebuah seminar bertajuk "Menyikapi Kekerasan Pada Anak Usia Dini" yang digelar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Ciputat, Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/12). 
[RI/ Tn]

Share This !

Related Posts :