Hukum melamar Wanita yang sudah dipinang oleh Pria Lain dalam Islam
Pria muslim yang berniat melamar, penting mengetahui bagaimana status wanita yang disukainya. Tak hanya bibit bebet dan bobotnya saja, gadis atau janda, tetapi juga harus tahu apakah wanita tersebut sudah dalam ikatan orang lain atau tidak.
Sebab, islam melarang meminang seorang wanita yang sudah dilamar oleh pria muslim lainnya.
Ahmad Zarkasih dalam buku “Risalah Al-Khatam” menjelaskan, sebagian orang banyak yang sudah tahu tentang larangan ini, yaitu tentang aturan dimana seorang pria tidak boleh melamar wanita yang sudah dilamar oleh pria lain.
Selain dilarang oleh agama, perbuatan itu juga tidak etis dan dapat menimbulkan persaingan, bahkan permusuhan dan saling menyakiti satu sama lainnya.
Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 4746
Nabi ﷺ telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli sebagian yang lain.
Dan janganlah seseorang melamar (seorang wanita) atas lamaran saudaranya hingga pelamar pertama meninggalkannya atau memberi izin kepadanya. (HR. Bukhari).
Lebih lanjut, Ahmad Zarkasih juga menjelaskan, semua ulama sudah sepakat bahwa berdosa bagi seorang laki-laki jika ia melamar wanita yang menerima lamaran laki-laki lain.
Meskipun pelamar kedua menjanjikan hadiah dan janji kebahagiaan pernikahan yang lebih baik daripada pelamar pertama.
“Dalam hal ini di si laki berdosa dan wanita yang menerima pun berdosa. Tidak ada perdebatan ulama dalam hal ini,” jelas Ahmad Zarkasih.
Apalagi jika dengan niat, jika lamaran itu datang dengan maksud dan tujuan untuk menjatuhkan lamaran pertama. Maka, menurut Zarkasih, dosa pasti akan berlipat didapatkan bagi orang yang melamar wanita yang sudah dilamar tersebut.
Di samping itu, dia juga mengingatkan kepada setiap pria muslim untuk memberikan cincin di jari wanita yang sudah dilamarnya.
Hal ini untuk menghindari pria muslim lainnya dari perbuatan dosa itu. Selain bisa menjaga wanitanya dari percobaan lamaran orang lain, cincin itu juga merupakan bentuk keseriusan.
Namun demikian, para ulama berselisih pendapat apakah larangan tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang atau tidak? Jika iya, maka dalam keadaan apa hal itu berlaku?
Menurut Imam Dawud, pernikahan tersebut otomatis batal. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidak batal. Sedangkan Imam Malik memiliki tiga versi pendapat mengenai hal ini.
Pertama, pendapat beliau sama dengan Imam Dawud yakni batal. Kedua, pendapatnya sama dengan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Dan di pendapat yang ketiga, beliau berpendapat bahwa pernikahan batal jika terjadi sebelum adanya hubungan seks, dan tidak batal jika terjadi sesudahnya.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qasim, maksud larangan tersebut adalah jika seseorang yang saleh melamar atas lamaran sesama orang yang saleh. Akan tetapi, jika seseorang yang saleh melamar atas lamaran orang yang tidak saleh maka hukumnya boleh.
Namun begitu perkara melamar atas lamaran orang lain menurut mayoritas ulama, hukumnya haram. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh al-Hafizh dalam kitab Fathul Bari. Dalam kitab tersebut dijabarkan, menurut Al-Khittabi menegaskan bahwa sebagian besar ulama ahli fikih menegaskan larangan akan hal tersebut.
Larangan dilakukan sebab mendahulukan adanya etika. Sehingga larangannya bukanlah larangan haram yang bisa membatalkan akad. Sedangkan Imam An-Nawawi berpendapat, para ulama sepakat bahwa hal tersebut merupakan larangan yang bersifat haram namun demikian mereka berselisih pendapat mengenai syarat-syaratnya.
Menurut ulama-ulama dari mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali, hukum haram diterapkan apabila lamaran sudah dijawab dengan tegas atau sang wali sudah merestuinya. Namun jika lamaran sudah ditolak dengan tegas, maka hal itu tidak menjadi haram.
Sedangkan Imam Dawud berpendapat, jika lelaki kedua menikahi wanita tersebut, maka akad nikahnya akan batal. Baik laki-laki itu sudah menggaulinya atau belum, akad nikahnya tetap batal. Namun demikian di kalangan ulama-ulama mazhab Maliki, masalah ini memiliki dua versi pendapat yang menyertainya.
Sebagian dari ulama mazhab ini berpendapat, akad nikah akan batal jika belum digauli, bukan sesudahnya. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat sebaliknya.
Secara keseuruhan, alasan mayoritas ulama melarang lamaran atas lamaran orang lain adalah unsur lamarannya. Sebab yang dilarang adalah lamaran itu sendiri, dan itu bukanlah merupakan syarat sahnya nikah. Untuk itulah mengapa, perbuatan ini tidak bisa membatalkan akad nikah. (*)
Sumber: Republika