Soekarno pun Berang ada Ancaman Jenazah Tak Dishalatkan dan Dibiarkan Tergeletak
Radarislam.com ~ Baru-baru ini, publik digegerkan dengan foto spanduk penolakan merumat jenazah yang mendukung penista agama semasa hidupnya. Spanduk tersebut terpasang di beberapa masjid dan mushola yang mengacu pada Pilkada DKI Jakarta. Sebelumnya beredar pula surat imbauan larangan mengurus jenazah pendukung penista agama yang kemudian dinyatakan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin adalah hoax (kabar bohong).
Ternyata isi jenazah yang tak dirumat karena urusan politik bukan kasus baru di Tanah Air. Hal ini terungkap ketika Presiden pertama RI Soekarno berpidato di hadapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Bogor, 18 Desember 1965. Dalam kesempatan tersebut pula Bung Karno, sapaan akrab beliau malah mengecam keras pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah setelah peristiwa G30S terjadi di Jakarta.
“Banyak kejadian-kejadian yang sebenarnya datang dari apa? Dari tidak mengetahui ajaran Islam,” kata Soekarno di hadapan HMI, termasuk beberapa pemuka agama seperti Kiai Aminuddin Aziz dan Kiai Muhammad Iljas. Misalnya ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan info-info kami sendiri, di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya bersimpati kepada PKI dibunuh, disembelih atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya,” urai Presiden Soekarno.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 1966 pun menyaksikan kekejian itu ketika dia berkunjung ke Purwodadi dan Bali. Di dua tempat itu dia mencatat banyak penyembelihan massal terjadi. Kasus ini sampai juga ke telinga Soekarno yang membuatnya naik pitam.
Ternyata isi jenazah yang tak dirumat karena urusan politik bukan kasus baru di Tanah Air. Hal ini terungkap ketika Presiden pertama RI Soekarno berpidato di hadapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Bogor, 18 Desember 1965. Dalam kesempatan tersebut pula Bung Karno, sapaan akrab beliau malah mengecam keras pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah setelah peristiwa G30S terjadi di Jakarta.
“Banyak kejadian-kejadian yang sebenarnya datang dari apa? Dari tidak mengetahui ajaran Islam,” kata Soekarno di hadapan HMI, termasuk beberapa pemuka agama seperti Kiai Aminuddin Aziz dan Kiai Muhammad Iljas. Misalnya ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan info-info kami sendiri, di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya bersimpati kepada PKI dibunuh, disembelih atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya,” urai Presiden Soekarno.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 1966 pun menyaksikan kekejian itu ketika dia berkunjung ke Purwodadi dan Bali. Di dua tempat itu dia mencatat banyak penyembelihan massal terjadi. Kasus ini sampai juga ke telinga Soekarno yang membuatnya naik pitam.
“Tentang nasib tahanan 65, saya juga sedang dihantui oleh problem lain. Yaitu sejumlah akibat dari pembunuhan massal di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Bali terdahulu. Jumlah yang dibunuh atas nama Pancasila kira-kira 300 ribu,” kata Soekarno seperti juga dikutip oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966.
Selain itu, yang membuat Presiden Sukarno geram saat menerima informasi bahwa mayat-mayat korban pembunuhan yang dibiarkan tergeletak karena ada ancaman kepada siapapun yang hendak mengurusnya.
“Jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa itu ngerumat, mengurus, ngerumat jenazah ini, awas, engkau pun akan kami bunuh,” nada suara Soekarno meninggi.
“Orang yang berbuat begini, membunuh kemudian mayatnya diklelerkan (digeletakkan, red), sebetulnya menentang fardu kifayah Islam,” kata Soekarno lagi.
Soekarno mengakui bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk merumat jenazah mereka yang non muslim. Namun, beliau menghimbau agar rakyat Indonesia mengedepankan nilai kemanusiaan dan solidaritas.
“Saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini orang yang tidak beragama atau beragama dan saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini munafik atau tidak. Orang yang tidak beragama Islam kalau mati tidak boleh dikubur di kuburan Islam itu memang benar. Itu saya tahu... Nah tapi sekarang ini, kalau tidak boleh dikubur di kuburan Islam, itu tidak berarti bahwa Islam memerintahkan atau melarang manusia ngerumat jenazah. Kalau ada jenazah sampai ada dimakan anjing karena diklelerkan di bawah pohon, engkau, aku, ikut bertanggungjawab!," tegasnya.
Baca Juga:
52 tahun setelah pidato Soekarno berlalu, namun ancaman tak menyalatkan jenazah kembali terjadi. [Radarislam/ Hst]
Selain itu, yang membuat Presiden Sukarno geram saat menerima informasi bahwa mayat-mayat korban pembunuhan yang dibiarkan tergeletak karena ada ancaman kepada siapapun yang hendak mengurusnya.
“Jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa itu ngerumat, mengurus, ngerumat jenazah ini, awas, engkau pun akan kami bunuh,” nada suara Soekarno meninggi.
“Orang yang berbuat begini, membunuh kemudian mayatnya diklelerkan (digeletakkan, red), sebetulnya menentang fardu kifayah Islam,” kata Soekarno lagi.
Soekarno mengakui bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk merumat jenazah mereka yang non muslim. Namun, beliau menghimbau agar rakyat Indonesia mengedepankan nilai kemanusiaan dan solidaritas.
“Saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini orang yang tidak beragama atau beragama dan saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini munafik atau tidak. Orang yang tidak beragama Islam kalau mati tidak boleh dikubur di kuburan Islam itu memang benar. Itu saya tahu... Nah tapi sekarang ini, kalau tidak boleh dikubur di kuburan Islam, itu tidak berarti bahwa Islam memerintahkan atau melarang manusia ngerumat jenazah. Kalau ada jenazah sampai ada dimakan anjing karena diklelerkan di bawah pohon, engkau, aku, ikut bertanggungjawab!," tegasnya.
Baca Juga:
- Soekarno dan Syekh Yusuf Jadi Pahlawan di Afrika Selatan, Alasannya Membanggakan
- GP Ansor Jakarta Barat Siap Shalatkan Jenazah Pendukung Calon Gubernur Non Muslim
- Kisah Jenazah Nenek Hindun Dilarang Dishalatkan di Mushola Karena Dukung Ahok Semasa Hidupnya
52 tahun setelah pidato Soekarno berlalu, namun ancaman tak menyalatkan jenazah kembali terjadi. [Radarislam/ Hst]