Renungan: "Menikah itu Seni Mengalah dan Cara Memenangkan Hati Pasangan" - RadarIslam.com

Renungan: "Menikah itu Seni Mengalah dan Cara Memenangkan Hati Pasangan"

Radarislam.com ~ Menikah adalah seni untuk mengalah, hal ini disampaikan oleh seorang pengguna faccebook bernama Wulan Darmantao.

Ia membagikan pengalamannya dalam berumah tangga.

Berawal dari nasehat ibunya agar pernikahannya kelak bisa langgeng.

Ternyata ia mendapatkan suami yang begitu penyabar dan selalu mengalah.

Dari situ ia banyak belajar tentang arti pernikahan dan berumah tangga.

Tentang bagaimana seni mencintai dan memenangkan hati pasangannya.

Berikut tulisan lengkapnya:

Sebelum saya menikah, saya yang masih berusia 22 tahun bertanya pada ibu.

Apa yang perlu dilakukan agar sebuah pernikahan bisa langgeng?

Ibuku menjawab tanpa perlu berpikir panjang dan pertanyaan saya seakan-akan sesederhana resep masakan.

Nikah itu intinya berani mengalah

Dua kata yang saya garis bawahi: Berani dan Mengalah

Kata “Berani” biasanya selalu digabungkan dengan hal-hal yang menakutkan seperti “Berani Mati”. 

Tetapi ibuku menyandingkan kata itu dengan “Mengalah”. 

Saya pun paham bahwa itu adalah hal yang berat sebab tidak semua orang bisa melakukannya.

Ya, mengalah.

Inilah yang saya jumpai dan saya pelajari dari seorang lelaki yang sejak 18 tahun yang lalu saya kenal punya kepribadian yang baik.

Ketika kehidupan pernikahan kami masih serba kurang, dia lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa makan pakai piring beling.

Ketika anak masih belum bisa ke toilet sendiri, dia yang bangun di tengah malam dan menatur si kecil padahal anak memanggil ibunya.

Saat makan di luar, dia yang makan terburu-buru supaya bisa bergantian menggendong si kecil. Hanya supaya kuah bakso saya tidak dingin.

Ketika ada bacaan yang menarik dan saya tertarik, dia menangguhkan bacaan itu terlebih dahulu “Baca itu dulu. Aku sudah selesai.”

Saat memasak dan jumlah makanan kita terbatas. 

Dia akan mengambilkan terlebih dahulu buat saya dan jumlahnya lebih banyak dari dia. 

“Aku sudah kenyang.” Saya tahu dia bohong.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. 

“Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”

Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. 

Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.

Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta

Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”

Enteng saja dia menjalani itu. 

Ikhlas saja. Senang-senang saja. 

Tapi dampaknya sangat besar buat saya.

Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.

Dari segi kematangan emosional, saya tertinggal jauh di belakang dia. 

Saya selalu ingin marah dan menang sendiri.

Sikap mengalah yang dia tunjukkan lama-lama mematangkan emosi saya.

Itu sekaligus membuat saya ingin belajar mengalah. Saya merasa dia sudah berlebihan dalam hal mengalah. 

Pernikahan memang hubungan yang saling memberi dan menerima. Saling melengkapi dan memahami.

Jika satu pihak saja yang mengalah dan yang lain memanfaatkan sikap mengalah itu, tidak akan ada kedamaian. 

Di balik sikap mengalah tersebut, ada bom waktu yang siap meledak.

Mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangannya. 

Pasangan yang baik akan menyambut sikap mengalah tersebut dengan penuh suka cita, rasa syukur dan menghargai usaha dari pasangannya.

Mungkin ini yang dimaksudkan oleh ibu sebagai “mengalah” itu. 

Kunci damai dalam berumah tangga.

Sekarang, saya pun bertanya kepada lelaki pengalah tersebut, “Mengapa kamu mengalah terus padaku?”

Jawabannya pun sederhana.

“Aku tak pernah merasa mengalah. Yang saya lakukan hanyalah menjaga rumah tangga kita supaya tidak terpecah belah.”


Sumber: Akun Facebook Wulan Darmanto

Share This !

Related Posts :