Renungan: "Menikah itu Seni Mengalah dan Cara Memenangkan Hati Pasangan"

Ia membagikan pengalamannya dalam berumah tangga.
Berawal dari nasehat ibunya agar pernikahannya kelak bisa langgeng.
Ternyata ia mendapatkan suami yang begitu penyabar dan selalu mengalah.
Dari situ ia banyak belajar tentang arti pernikahan dan berumah tangga.
Tentang bagaimana seni mencintai dan memenangkan hati pasangannya.
Berikut tulisan lengkapnya:
Sebelum saya menikah, saya yang masih berusia 22 tahun
bertanya pada ibu.
Apa yang perlu dilakukan agar sebuah pernikahan bisa
langgeng?
Ibuku menjawab tanpa perlu berpikir panjang dan pertanyaan
saya seakan-akan sesederhana resep masakan.
“Nikah itu intinya berani mengalah”
Dua kata yang saya garis bawahi: Berani dan Mengalah
Kata “Berani” biasanya selalu digabungkan dengan hal-hal
yang menakutkan seperti “Berani Mati”.
Tetapi ibuku menyandingkan kata itu
dengan “Mengalah”.
Saya pun paham bahwa itu adalah hal yang berat sebab tidak
semua orang bisa melakukannya.
Ya, mengalah.
Inilah yang saya jumpai dan saya pelajari dari seorang
lelaki yang sejak 18 tahun yang lalu saya kenal punya kepribadian yang baik.
Ketika kehidupan pernikahan kami masih serba kurang, dia
lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa makan pakai piring beling.
Ketika anak masih belum bisa ke toilet sendiri, dia yang
bangun di tengah malam dan menatur si kecil padahal anak memanggil ibunya.
Saat makan di luar, dia yang makan terburu-buru supaya
bisa bergantian menggendong si kecil. Hanya supaya kuah bakso saya tidak
dingin.
Ketika ada bacaan yang menarik dan saya tertarik, dia
menangguhkan bacaan itu terlebih dahulu “Baca itu dulu. Aku sudah selesai.”
Saat memasak dan jumlah makanan kita terbatas.
Dia akan
mengambilkan terlebih dahulu buat saya dan jumlahnya lebih banyak dari dia.
“Aku
sudah kenyang.” Saya tahu dia bohong.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang
ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar
mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya.
“Aku di belakang aja.
Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”
Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal,
dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf.
Padahal masalah
sebenarnya pun belum terang ia cerna.
Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta
Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan
tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng saja dia menjalani itu.
Ikhlas saja. Senang-senang
saja.
Tapi dampaknya sangat besar buat saya.
Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Dari segi kematangan emosional, saya tertinggal jauh di
belakang dia.
Saya selalu ingin marah dan menang sendiri.
Sikap mengalah yang dia tunjukkan lama-lama mematangkan
emosi saya.
Itu sekaligus membuat saya ingin belajar mengalah. Saya merasa dia
sudah berlebihan dalam hal mengalah.
Pernikahan memang hubungan yang saling
memberi dan menerima. Saling melengkapi dan memahami.
Jika satu pihak saja yang mengalah dan yang lain
memanfaatkan sikap mengalah itu, tidak akan ada kedamaian.
Di balik sikap
mengalah tersebut, ada bom waktu yang siap meledak.
Mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangannya.
Pasangan
yang baik akan menyambut sikap mengalah tersebut dengan penuh suka cita, rasa
syukur dan menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin ini yang dimaksudkan oleh ibu sebagai “mengalah”
itu.
Kunci damai dalam berumah tangga.
Sekarang, saya pun bertanya kepada lelaki pengalah
tersebut, “Mengapa kamu mengalah terus padaku?”
Jawabannya pun sederhana.
“Aku tak pernah merasa mengalah. Yang saya lakukan
hanyalah menjaga rumah tangga kita supaya tidak terpecah belah.”
Baca Juga: