Patah Hati? Merasa Hidup Paling menderita? Baca Cerita ini!
Suatu
hari seorang seorang perempuan muda mendatangi orang tua bijak karena ia sedang
dirundung masalah. Masalah yang menurutnya amat berat, yang selama hidup baru
ia alami kali ini, perih yang tak terkira. Tak ingin membuang waktu perempuan
itu langsung menceritakan semua masalahnya. Sesekali perempuan tersebut mengusap
wajahnya dari butiran-butiran airmatanya yang mulai menetes.
“Hampir saja saya mengakhiri hidup ini kakek,
saya sudah putus asa. Selama hidup, saya tak pernah merasakan bahagia. Tapi
ketika apa yang saya cita-citakan, kebahagiaan yang saya impikan selama ini sudah
ada di depan mata, tiba-tiba semuanya sirna. Tidak ada harapan lagi....!” Kata
perempuan muda tersebut sambil sesenggukan. Pak tua bijak yang
ternyata adalah kakeknya ini hanya mendengarkan dengan seksama tanpa banyak
bicara.
Selesai
menceritakan kisahnya, pak tua bijak mengajaknya berjalan lewat belakang
rumahnya menuju ke suatu tempat. Sebelumnya, ia mengambil segenggam serbuk pahit
dan meminta cucunya itu untuk membawa segelas air.
Sampai tempat yang dituju di sebuah gubuk tepian telaga, ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya”,
ujar sang kakek.
“Pahit, pahit sekali kek“, jawab perempuan itu
sambil meludah ke samping.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah".
Saat si perempuan mereguk air itu, Sang Kakek kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya?"
“Segar “, sahut si perempuan muda.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?” tanya Kakeknya.
“Tidak” sahutnya mantab.
Sang Kakek tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
“Buat apa mengutuk kegelapan? Percuma!. Tak akan ada yang berubah. Tak ada gunanya bersedih berkepanjangan. Lebih baik menyalakan pelita agar terang lagi semua jalan. Udara yang kita hirup cuma-cuma pemberian Tuhan ini sudah merupakan anugarah tak terkira, sudah sepantasnya patut di syukuri. Luaskan hatimu bak samudra. Pedih yang lalu tak usah difikirkan, kita jelang masa yang indah dihadapan”. Guman perempuan muda itu penuh semangat didalam hati.
(gubahan dari berbagai sumber)
Sang kakek itu tersenyum, lalu mengajak cucunya
ini untuk berjalan lagi mendekat ke sisi telaga yang airnya terlihat sangat
jernih. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi
telaga disamping gubuk. Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk
pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah".
Saat si perempuan mereguk air itu, Sang Kakek kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya?"
“Segar “, sahut si perempuan muda.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?” tanya Kakeknya.
“Tidak” sahutnya mantab.
Sang Kakek tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
“Cucuku, dengarkan baik-baik. Pahitnya
kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang.
Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan
yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu
akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu
merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kamu dapat
lakukan; lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk
menampung setiap kepahitan itu.”
Kakeknya itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.”
Kakeknya itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.”
Butuh waktu yang agak lama bagi perempuan muda
tersebut untuk mencerna kata-kata dari pak tua, si kakek bijak. Sambil berjalan
pulang menyusuri jalanan desa, perempuan muda itu bagai menemukan harapan baru.
Hambar dan hampa yang ia rasakan mulai sirna.
“Buat apa mengutuk kegelapan? Percuma!. Tak akan ada yang berubah. Tak ada gunanya bersedih berkepanjangan. Lebih baik menyalakan pelita agar terang lagi semua jalan. Udara yang kita hirup cuma-cuma pemberian Tuhan ini sudah merupakan anugarah tak terkira, sudah sepantasnya patut di syukuri. Luaskan hatimu bak samudra. Pedih yang lalu tak usah difikirkan, kita jelang masa yang indah dihadapan”. Guman perempuan muda itu penuh semangat didalam hati.
(gubahan dari berbagai sumber)